SUMBER HUKUM FIQH

Sumber dari produk hukum dengan segala pembagiannya yang dise­butkan di atas oleh para ulama dibagi dalam dua bentuk, yaitu yang disepakati sebagai sumber dan yang diperbedakan. Sumber yang disepakati ter­sebut adalah Al-Qur'an dan hadis. Adapun Ijmak dan kias dinyatakan sebagai sumber hukum oleh kebanyakan ulama. Sebagian ulama, betapa pun kecilnya jumlah mereka, ada yang memandang ijmak dan kias hanya sebagai alat penggali hukum, bukan sumber hukum. Dalil-dalil hukum Islam lainnya yang diperselisihkan ulama ialah istihsan, al-Maslahah al-Mursalah al-Mursalah, 'urf(adat istiadat),sadd az-zari'ah (Usul Fikih), istishab, dan lain sebagainya.
Mustafa Zarqa (ahli usul dan fikih) mengatakan bahwa bagian yang disepakati tersebut dinamakan al-masadir al-asasiyyah (sumber pokok), sedangkan bagian yang diperselisihkan dinamakan al-ma­sadir at-taba'iyyah (sumber sekunder). Disebut sumber sekunder karena kias, ijmak, istihsan, dan sebagainya itu tidak dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum, akan tetapi harus disandarkan pada Al-Qur'an dan hadis.
Perbedaan dalam menggunakan metode bisa menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Karena itu penilaian tentang hukum suatu perbuat­an mukalaf bisa pula lebih dari satu. Hal ini sangat tergantung kepada mujtahid (ahli ijtihad) mana dan metode apa yang digunakan dalam menyelesaikan atau mencarikan hukum perbuatan mukalaf tersebut. Misalnya, setiap pemegang amanah tidak dituntut pertanggung-jawabannya jika barang titipan yang diamanahkan kepadanya untuk dipelihara rusak atau hilang tanpa disengaja. Hukum tidak dituntutnya pertanggung-jawaban pemegang ama­nah ini didasarkan pada kehendak kaidah umum (kias). Namun, pendapat lain yang mempergunakan kehendak istihsan mengatakan bahwa jika hu­kum umum itu diberlakukan untuk segala tempat dan zaman, apalagi pada saat sifat amanah sudah mulai berkurang, maka hal ini akan membawa pada sikap memakan hak orang lain secara batil (tidak benar). Untuk itu agar yang disebut terakhir ini dapat dihindari, pemegang amanah adakalanya harus diminta pertanggung-jawabannya. Misalnya, jika tukang binatu mengatakan bahwa pakaian yang diserahkan kepadanya untuk dicuci hilang, maka ia Naskah tua ilmu fikih yang ditemukan di Kampung Cangkuang, Kec. Leles, Garut.harus diminta pertanggung-jawabannya, sekalipun hilangnya pakaian tersebut tidak disengaja; kecuali jika penyebabnya adalah sesuatu yang tak mungkin diatasi manusia (seperti kebakaran dan kebanjiran). Hal ini dilakukan agar pemegang amanah ter­sebut tidak mempergunakan posisinya untuk mencari keuntungan yang besar. Cara yang ditempuh ini oleh ulama dari kalangan Mazhab Hanafi disebut istihsan. Dari contoh ini terlihat bahwa dalam kasus yang sama, tetapi cara penyelesaian masalahnya berbeda, maka hukumnya pun berbeda. Kias menghendaki pemegang amanah tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan atau hilangnya barang yang diamanahkan, selama itu bukan karena kesengajaan dan kelalaian dia. Istihsan menentukan bahwa pertanggung-jawabannya harus diminta, sekalipun bukan dengan kesengajaan dan kelalai­an. Pemegang metode istihsan berpendapat, kalau tidak demikian, maka kesempatan ini akan dipergunakan oleh pemegang amanah untuk mengeruk keuntungan lebih banyak dengan cara ilegal.