METODE USUL FIKIH

Dalam perjalanan dan perkembangan usul fikih sesudah masa Imam Syafi'i, dikenal adanya dua metode usul fikih yang berbeda.
Pertama, metode yang sifatnya teoritis. Metode ini tidak terpengaruh oleh furuk (hukum keagamaan yang tidak pokok) dan kalangan yang berpatokan pada masalah-masalah partial).Artinya, metode yang mereka susun sifatnya lebih mengacu pada penerapan hukumnya. Metode ini dikenal de­ngan metode Mazhab Syafi'i, karena ia dikenal se­bagai orang pertama yang melakukan pembahasan yang bersifat teori belaka. Metode Imam Syafi'i ini juga dikenal dengan metode mutakalimin, karena banyak di antara ulama ilmu kalam melakukan pembahasan usul dengan metode teoritis ini.
Pembahasan dalam metode Imam Syafi'i dan mutakalimin lebih ditekankan pada penyusunan kaidah-kaidah tanpa terikat dengan pandangan mazhab, bahkan mereka menyusun metode ini dengan mapan tanpa memperhitungkan apakah dapat melayani kebutuhan mazhab mereka atau tidak. Oleh sebab itu, ada ahli usul Mazhab Syafi'i sendiri yang teorinya bertentangan dengan teori yang telah ditetapkan Imam Syafi'i. Misalnya, Imam al-Amidi, ahli fikih dan usul fikih penganut Mazhab Syafi'i, mengatakan bahwa ijma'sukuti (kesepakatan sebagian mujtahid pada suatu masa dalam mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap hukum suatu kejadian, sedangkan sebagian lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut) itu dapat menjadi hujah. Sementara Imam Syafi'i sendiri tidak menerima ijma'sukuti sebagai hujah.
Pada pembicaraan tentang usul dalam kelompok ini banyak didapati pembahasan-pembahasan yang sifatnya teoritis saja dan tidak membawa pengaruh pada keperluan praktis. Di antaranya adalah pembahasan tentang asal-usul bahasa, tahsin (menganggap sesuatu perbuatan itu baik dapat dicapai oleh akal atau tidak), dan taqbih (mengang­gap sesuatu perbuatan itu buruk dapat dicapai dengan akal atau tidak). Kitab-kitab usul fikih yang disusun menurut metode Imam Syafi'i dan mutakalimin antara lain: al-Mu'tamad oleh Abi Husain Muhammad bin Ali al-Basri, yang sebelumnya Muktazilah, al-Burhan oleh Imam al-Juwaini yang dikenal dengan Imam Haramain, dan al-Mustasfa oleh Imam Abu Hamid al-Gazali.
Kedua, metode Mazhab Hanafi, yakni metode yang sangat terikat dengan peristiwa-peristiwa partial. Mereka melakukan pembahasan terhadap kaidah-kaidah usul untuk dijadikan pertimbangan atau alat pengukur pendapat-pendapat yang ada dalam mazhab mereka. Dengan demikian mereka berusaha untuk membenarkan pendapat mazhabnya melalui metode yang mereka susun. Syah Waliullah (Delhi, 4 Syawal 1114/1703 M-Delhi, 1176 H/1762 M), salah seorang pembaru pemikiran Islam di India pada permulaan abad ke-18, me­ngatakan bahwa metode yang mereka susun itu bertujuan sebagai pembenaran terhadap putusan-putusan imam-imam mazhab mereka. Di sinilah letak perbedaan antara metode Mazhab Syafi'i dan metode Mazhab Hanafi. Metode Mazhab Syafi'i dibentuk sebagai teori untuk istinbat, tanpa terikat dengan masalah-masalah furuk. Adapun metode Mazhab Hanafi dibentuk dalam rangka pembe­naran terhadap pendapat mazhab mereka. Kitab-kitab usul yang ditulis dengan metode Mazhab Hanafi antara lain: Kitab Usul (oleh Ubaidillah bin Husain), Kitab Usul (al-Jassas), Kitab Usul (Imam al-Bazdawi), dan Kitab Usul (asy-Syarakhsi).
Dengan demikian, usul fikih yang dikenal sekarang adalah usul fikih dalam dua metode ini. Ada juga beberapa penulis, baik dari kalangan Mazhab Syafi'i maupun Mazhab Hanafi, yang menulis kitabnya dengan menggabungkan kedua metode ini. Dalam teori, mereka berpegang pada metode Maz­hab Syafi'i, namun dalam praktek atau tatbiqaya, mereka mengikuti metode Mazhab Hanafi. Penulis yang menggabungkan dua metode tersebut antara lain Imam al-Amidi dengan bukunya al-Ihkam li al-Amidi dari kalangan Mazhab Syafi'i dan Imam Ali Muhammad al-Bazdawi dengan bukunya Usul al-Bazdawi dari kalangan Mazhab Hanafi. Kemudian datang lagi Imam Ahmad bin Ali Sa'ati al-Bagdadi yang menggabungkan Usul al-Bazdawi dengan al-Ihkam li al-Amidi.