CARA MELAKUKAN IJTIHAD

Dalam melakukan ijtihad, para fukaha menempuh beberapa cara dan yang umum dipakai adalah kias, istihsan, al-maslahah al-mursalah, dan 'urf. Kias ialah menyamakan hukum suatu masalah dengan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah karena ilah (sebab)nya sama. Misalnya,. hukum minum bir sama dengan hukum minum khamar, yaitu haram, karena ilat keduanya sama, yaitu sama-sama memabukkan (menghilangkan ingatan). Masalah-masalah yang boleh dilakukan dengan cara ini adalah masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah lain yang sejenis dan kemudian menetapkan bagi masalah itu suatu hukum yang lain karena adanya alasan yang kuat bagi pengecualian itu. Ada dua macam istihsan, yaitu istihsan kias yang disebut juga kias al-khafi, dan istihsan darurat. Istihsan kias atau kias al-khafi ialah mengecualikan hukum suatu masalah yang telah ditetapkan dengan kias dan mencari kias , yang lebih kuat atau yang paling kuat di antara beberapa kias yang bertentangan mengenai suatu masalah. Istihsan darurat adalah membuat hukum yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dengan kias karena alasan darurat. Hal ini dimungkinkan apabila penerapan hukum yang ditetapkan secara kias akan menimbulkan kesulitan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai istihsan dalam meng-istinbata-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Al-maslahah al-mursalah adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur'an dan sunah untuk mencapai kebaikan Mujtahid yang dikenal banyak memakai cara al-maslahah al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
Adapun yang dimaksud dengan 'urf adalah kebiasaan umum atau adat istiadat. Ditinjau dari pemakaiannya, 'urf terbagi dua, yaitu 'urf umum dan 'Urf khusus. 'Urf umum ialah kebiasaan yang berlaku untuk semua orang di semua negeri dalam suatu masalah, sedang 'urf khusus ialah 'urf yang dipakai di negeri tertentu atau dalam masyarakat tertentu. 'Urf dapat berupa perkataan dan dapat pula berupa perbuatan

MUJTAHID

Orang yang melakukan ijtihad; ula­ma yang ahli dalam bidang fikih. Agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat, seorang mujtahid harus memiliki beberapa persyaratan.Persyaratan untuk menjadi mujtahid, menurut Yusuf al-Qardawi (ahli usul dan fikih) dalam bukunya al-Ijtihad fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah, ada delapan, yaitu:
1. memahami Al-Qur'an dengan asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur'an), ayat-ayat nasikh dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapus; Nasikh dan Mansukh);
2. memahami hadis, ilmu hadis dirayah-nya, hadis-hadis yang nasikh dan mansukh, dan sebab-sebab wurud (sebab munculnya hadis-hadis);
3. mempunyai pengetahuan yang mendalam ten-tang bahasa Arab;
4. mengetahui tempat-tempat ijmak;
5. mengetahui usul fikih;
6. mengetahui maksud-maksud syariat;
7. memahami masyarakat dan adat istiadatnya; dan
8. bersifat adil dan tak-wa. Di samping delapan syarat ini, beberapa ulama menambahkan tiga syarat lagi, yaitu: (1) mendalami ilmu usuluddin, 2) memahami ilmu mantik (logika), dan 3) menguasai cabang-cabang fikih.
Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama mengelompokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan. Muhammad Abu Zahrah (ahli usul, fikih, dan kalam) dalam bukunya Usul al-Fiqh menyebut enam tingkatan, yaitu :
1. mujtahid mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur'an dan sunah, melakukan kias, berfatwa, dan ber-istihsan. Mereka menempuh segala cara ber-istidlal (pengambilan dalil) yang ditentukan sendiri dan tidak mengikuti pendapat siapa pun. Mujtahid mustaqill adalah tingkatan mujtahid yang paling tinggi;
2. mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang imam pada hal-hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal-hal furuk (cabang) walaupun pada akhirnya ia akan sampai pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut;
3. mujtahid fi al-mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat imam mazhab, baik dalam hal-hal usul (pokok) maupun furuk. Usahanya hanya terbatas dalam meng-istinbat-kan atau menyimpulkan hukum-hukum bagi persoalan-persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam mazhab;
4. mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang meng-istinbat-kan hukum-hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama sebelumnya. Sebenarnya, mujtahid pada tingkat ini tidak meng-istinbat-kan hukum-hukum, tetapi mereka hanya melakukan tarjih (mencari pendapat imam mazhab yang lebih kuat);
5. mujtahid muhafiz, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum yang telah di-tarjih-kan oleh para ulama sebelumnya; dan
6. mujtahid muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih.
Yusuf al-Qardawi menyebutkan empat tingkatan mujtahid, yaitu:
1. mujtahid mustaqill,
2. muj­tahid muntasib,
3. mujtahid fi al-mazhab, dan
4. mujtahid fatwa (mujtahid murajjih).

JENIS HUKUM IJTIHAD

Begitu pentingnya ijti­had itu dilakukan, sehingga ahli usul fikih menetapkan bahwa hukum ijtihad itu ada tiga macam, yaitu fardu ain (wajib bagi setiap orang), fardu kifayah (cukup dilakukan oleh sebagian orang), dan mandub (sunah). Penetapan seperti ini terdapat di dalam kitab Ihya' 'Ulum ad-Din.
Hukum ijtihad menjadi fardu ain apabila timbul suatu persoalan yang sangat mendesak untuk ditentukan atau dicarikan kepastian hukumnya, baik untuk diri sendiri maupun untuk umat. Hukum ijtihad menjadi fardu kifayah apabila ada persoalan yang muncul yang diajukan kepada beberapa ulama untuk dijawab dan kewajiban mereka menjadi gugur jika salah seorang di antara mereka memberi jawaban atas persoalan tersebut. Ijtihad menjadi mandub apabila masalah-masalah yang akan dicarikan kepastian hukumnya adalah masalah-masalah yang belum mendesak, misalnya persoalan yang ditanyakan itu belum terjadi di masyarakat.

PERKEMBANGAN IJTIHAD

Ijtihad dalam sejarah dan perkembangannya, telah ada sejak zaman Ra­sulullah SAW .Rasulullah SAW sendiri adalah mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu (Al-Qur'an). Apabila hasil ijtihad Rasulullah SAW itu benar, maka turun wahyu membenarkannya, dan jika ijtihad Rasulullah SAW salah, turun wahyu untuk meluruskan kesalahan itu. Contoh ijtihad Rasulullah SAW yang mendapat pembenaran wahyu adalah ijtihadnya tentang pembebasan tawanan Perang Badr. Ketika itu umat Islam memenangkan pertempuran dan banyak tentara musuh yang tertawan. Rasulullah SAW berta­nya kepada sahabat-sahabatnya mengenai tawanan perang tersebut. Umar bin Khattab menjawab: "Tawanan perang itu hendaknya dibunuh," sedangkan Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, agar tawanan itu dibebaskan dengan syarat membayar fidyah (denda). Rasulullah SAW lalu mengambil keputusan bahwa tawanan perang itu dibebaskan dengan membayar fidyah. Keputusan ini merupakan ijtihad Rasulullah SAW meskipun dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabat-sahabatnya. Lalu turunlah surah al-Anfal ayat 61-69 yang membenarkan ijtihad Rasulullah SAW. Adapun contoh ijtihad Rasululah SAW yang salah ialah keputusannya tentang pemberian izin orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turun surah at-Taubah ayat 43—45 yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah SAW.
Pada masa sahabat, ijtihad mulai banyak dipakai karena dengan wafatnya Rasulullah SAW, wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara itu, masalah-masalah yang dihadapi umat Islam bertambah terus dan memerlukan ketentuan hukum. Pada masa Abu Bakar, jika menghadapi sesuatu persoalan dan tidak menemukan nasnya di dalam Al-Qur'an dan hadis, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah-masalah itu. Demikian pula pada masa Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak didapati nasnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Akan tetapi, di antara keempat sahabat besar itu, hanya Umar yang diketahui paling banyak memakai ij­tihad. Walaupun demikian, keempat sahabat itu sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu pendapat yang merupakan hasil ijtihad. Abu Bakar, apabila berijtihad dengan pendapatnya, selalu berkata: "Ini adalah pendapatku. Jika benar, itu dari Allah dan jika salah, itu dari saya. Saya mohon ampun atas kesalahan itu." Umar pernah mengatakan: "Ini pendapat Umar. Jika pendapat itu benar, itu adalah dari Allah dan jika salah, itu pendapat Umar." Selain dari keempat sahabat itu, ada pula beberapa sahabat yang terkenal dengan ijtihadnya, seperti Ibnu Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Mu'az bin Jabal, Ubay bin Ka'b, dan Zaid bin Sabit.
Sesudah masa sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya mujtahid-mujtahid besar, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibnu Syihad az-Zuhri, AbdulIah bin Ab­bas, Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Amr, dan Wahhab bin Munabbih.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Setelah abad keempat Hijriah, perkembangan ijtihad mengalami kemunduran, bahkan muncul pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini disebabkan antara lain karena umat Islam merasa cukup dengan pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya. Umat Islam memandang bahwa semua masalah telah ditetapkan hukumnya oleh fukaha (ahli hukum Islam), sehingga mereka hanya boleh menjelaskan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang telah disepakati oleh fukaha terdahulu. Di samping itu, tidak ada lagi muncul mujtahid-mujtahid yang memiliki kemampuan dan keunggulan seperti yang dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya sehingga tidak ada lagi yang disebut mujtahid mutlak (muj­tahid mustaqilt). Yang ada hanya mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang mengikuti pendapat para imam mazhab sebelumnya) atau mujtahid murajjih (mujtahid yang menerangkan dan memperkuat pendapat imam-imam mazhab sebelumnya).
Kemudian dalam perkembangan berikutnya, muncul ulama-ulama seperti Ibnu Taimiyah yang menyerukan agar umat Islam membuka kembali pintu ijtihad. Pendapat Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan dari ulama dan tokoh-tokoh pemikir serta tokoh-tokoh pembaharu sesudahnya, se­perti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad bin Ab­dul Wahhab, Muhammad Abduh, dan Muham­mad Rasyid Rida.Pada masa kini, para ulama semakin dituntut untuk berusaha melakukan ijtihad. Hal ini dise­babkan karena semakin banyaknya persoalan yang dihadapi umat akibat pengaruh perubahan yang begitu pesat

DASAR HUKUM IJTIHAD

Dasar hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunah, dan ijmak. Dalil Alquran adalah surah an-Nisa' ayat 83, surah asy-Syu'ara' ayat 38, surah al-Hasyr ayat 2, dan surah al-Baqarah ayat 59
Dasar ijtihad dalam sunah ialah sabda Nabi SAW yang artinya: "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka membenarkan perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain ialah hadis yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu'az, dengan apa ia akan memutuskan hukum. Lalu Mu'az menjawab bahwa jika ia tidak menemukan hukumnya di da­lam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW, ia akan memutuskan hukum dengan jalan ijtihad.
Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk menja­wab persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah za­man sahabat dan tabiin (orang-orang yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang pakai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama-ulama fikih, yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fikih.

IJTIHAD

Arti Jahada = berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur'an dengan syarat-syarat tertentu. Adapun menurut para ahli usul fikih, antara lain Imam asy-Syaukani dan Imam az-Zarkasy, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak (hukum Islam) yang bersifat operasional de­ngan istinbat (mengambil kesimpulan hukum). Menurut Imam al-Amidi dalam bukunya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Penyempurnaan dalam Dasar-Dasar Hukum), ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syarak yang bersifat zanni (dugaan) sampai merasa dirinya tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.

METODE USUL FIKIH

Dalam perjalanan dan perkembangan usul fikih sesudah masa Imam Syafi'i, dikenal adanya dua metode usul fikih yang berbeda.
Pertama, metode yang sifatnya teoritis. Metode ini tidak terpengaruh oleh furuk (hukum keagamaan yang tidak pokok) dan kalangan yang berpatokan pada masalah-masalah partial).Artinya, metode yang mereka susun sifatnya lebih mengacu pada penerapan hukumnya. Metode ini dikenal de­ngan metode Mazhab Syafi'i, karena ia dikenal se­bagai orang pertama yang melakukan pembahasan yang bersifat teori belaka. Metode Imam Syafi'i ini juga dikenal dengan metode mutakalimin, karena banyak di antara ulama ilmu kalam melakukan pembahasan usul dengan metode teoritis ini.
Pembahasan dalam metode Imam Syafi'i dan mutakalimin lebih ditekankan pada penyusunan kaidah-kaidah tanpa terikat dengan pandangan mazhab, bahkan mereka menyusun metode ini dengan mapan tanpa memperhitungkan apakah dapat melayani kebutuhan mazhab mereka atau tidak. Oleh sebab itu, ada ahli usul Mazhab Syafi'i sendiri yang teorinya bertentangan dengan teori yang telah ditetapkan Imam Syafi'i. Misalnya, Imam al-Amidi, ahli fikih dan usul fikih penganut Mazhab Syafi'i, mengatakan bahwa ijma'sukuti (kesepakatan sebagian mujtahid pada suatu masa dalam mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap hukum suatu kejadian, sedangkan sebagian lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut) itu dapat menjadi hujah. Sementara Imam Syafi'i sendiri tidak menerima ijma'sukuti sebagai hujah.
Pada pembicaraan tentang usul dalam kelompok ini banyak didapati pembahasan-pembahasan yang sifatnya teoritis saja dan tidak membawa pengaruh pada keperluan praktis. Di antaranya adalah pembahasan tentang asal-usul bahasa, tahsin (menganggap sesuatu perbuatan itu baik dapat dicapai oleh akal atau tidak), dan taqbih (mengang­gap sesuatu perbuatan itu buruk dapat dicapai dengan akal atau tidak). Kitab-kitab usul fikih yang disusun menurut metode Imam Syafi'i dan mutakalimin antara lain: al-Mu'tamad oleh Abi Husain Muhammad bin Ali al-Basri, yang sebelumnya Muktazilah, al-Burhan oleh Imam al-Juwaini yang dikenal dengan Imam Haramain, dan al-Mustasfa oleh Imam Abu Hamid al-Gazali.
Kedua, metode Mazhab Hanafi, yakni metode yang sangat terikat dengan peristiwa-peristiwa partial. Mereka melakukan pembahasan terhadap kaidah-kaidah usul untuk dijadikan pertimbangan atau alat pengukur pendapat-pendapat yang ada dalam mazhab mereka. Dengan demikian mereka berusaha untuk membenarkan pendapat mazhabnya melalui metode yang mereka susun. Syah Waliullah (Delhi, 4 Syawal 1114/1703 M-Delhi, 1176 H/1762 M), salah seorang pembaru pemikiran Islam di India pada permulaan abad ke-18, me­ngatakan bahwa metode yang mereka susun itu bertujuan sebagai pembenaran terhadap putusan-putusan imam-imam mazhab mereka. Di sinilah letak perbedaan antara metode Mazhab Syafi'i dan metode Mazhab Hanafi. Metode Mazhab Syafi'i dibentuk sebagai teori untuk istinbat, tanpa terikat dengan masalah-masalah furuk. Adapun metode Mazhab Hanafi dibentuk dalam rangka pembe­naran terhadap pendapat mazhab mereka. Kitab-kitab usul yang ditulis dengan metode Mazhab Hanafi antara lain: Kitab Usul (oleh Ubaidillah bin Husain), Kitab Usul (al-Jassas), Kitab Usul (Imam al-Bazdawi), dan Kitab Usul (asy-Syarakhsi).
Dengan demikian, usul fikih yang dikenal sekarang adalah usul fikih dalam dua metode ini. Ada juga beberapa penulis, baik dari kalangan Mazhab Syafi'i maupun Mazhab Hanafi, yang menulis kitabnya dengan menggabungkan kedua metode ini. Dalam teori, mereka berpegang pada metode Maz­hab Syafi'i, namun dalam praktek atau tatbiqaya, mereka mengikuti metode Mazhab Hanafi. Penulis yang menggabungkan dua metode tersebut antara lain Imam al-Amidi dengan bukunya al-Ihkam li al-Amidi dari kalangan Mazhab Syafi'i dan Imam Ali Muhammad al-Bazdawi dengan bukunya Usul al-Bazdawi dari kalangan Mazhab Hanafi. Kemudian datang lagi Imam Ahmad bin Ali Sa'ati al-Bagdadi yang menggabungkan Usul al-Bazdawi dengan al-Ihkam li al-Amidi.

PERKEMBANGAN ILMU USUL FIKIH

Sebagai salah satu disiplin ilmu, usul fikih pertama kali disusun oleh Imam Syafi'i pada abad ke-2 H. Namun demikian, sebagai suatu teori yang belum disistematisasikan, metode-metode yang digunakan dalam menetapkan hukum dari Al-Qur'an dan sunah sudah terlihat bibitnya sejak zaman Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, para ulama usul mengatakan bahwa ilmu usul itu muncul bersamaan dengan fikih dan diawali sejak zaman risalah. Bibit ini semakin memperlihatkan bentuknya di zaman sahabat, pada saat ijtihad sudah mulai meluas di kalangan mereka, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud, Ali bin Abi Talib, dan Umar bin Khattab. Para sahabat ini senantiasa menetap­kan hukum yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur'an atau sunah dengan kriteria dan batasanbatasan tertentu. Umpamanya dalam kasus hukuman bagi orang yang minum khamar, Ali bin Abi Talib mengatakan: "Jika ia minum ia akan mengigau dan jika ia telah mengigau, dia akan menuduh orang berbuat zina dan hukuman menuduh orang berbuat zina adalah dera 80 kali." Dalam kasus ini terlihat Ali berusaha mencari inti permasalahan serta dampak dari perbuatan tersebut atau paling tidak dia berusaha menutup segala kemungkinan negatif yang dapat terjadi. Kemudian hal ini dikenal dengan istilah sadd dz-zari'ah.

Cara-cara yang ditempuh para sahabat dalam menentukan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur'an atau sunah ini, di zaman tabiin semakin berkembang dan meluas. Hal ini sesuai dengan permasalahan yang semakin banyak terjadi. Perkembangan itu dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang dikemukakan oleh Sa'id bin Musayyab di Madinah, Alqamah bin Waqqas al-Lais dan Ibrahim an-Nakha'i di Irak, dan Hasan al-Basri di Basra. Mereka adalah ahli hadis dan ahli fikih pada periode tabiin. Di antara mereka ada yang melihat permasalahan tersebut dari sudut maslahatnya (sesuatu yang mendatangkan kebaikan). Hal ini di­lakukan jika nasnya tidak ada.

Adapun yang lain melihatnya dari sisi kias. Oleh sebab itu, berbagai hukum pun muncul. Misalnya, kalangan fukaha (ahli fikih) Irak melakukan usaha untuk mencari ilah-ilah (sebab) hukum yang akan dipergunakan melalui kias, kemudian ilah ini dikembangkan dan dibandingkan dengan ilah yang ada pada peristiwa yang perlu dicarikan hukumnya. Dengan demikian muncullah perbedaan-perbedaan cara yang diper­gunakan dalam meng-istinbat-kan hukum, yang nantinya dikenal dengan sebutan Madrasah Irak, Madrasah Madinah, dan Madrasah Kufah. Penamaan ini menunjukkan perbedaan cara dan metode istinbat yang dipergunakan dalam menggali hukum.

Setelah itu muncullah para imam mujtahid, khususnya imam yang empat (Abu Hanifah atau Imam Hanafi, Imam MaIik, Imam Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali). Pada periode ini metode-metode usul fikih mencapai kesempurnaannya, yakni masing-masing imam tersebut menciptakan metode istinbat-nya sendiri, yang membedakannya dengan metode imam-imam yang lain. Imam Abu Hanifah menyusun metode istinbat de­ngan urutan: Al-Qur'an, sunah, fatwa para sahabat yang menjadi kesepakatan mereka, memilih fatwa sahabat yang dianggap cocok, pendapat para tabiin, kias, dan istihsan dengan cara yang jelas. Sementara Imam Malik mengemukakan pendapatnya dengan banyak berpegang pada amalan ahli Ma­dinah. la juga mengritik beberapa hadis yang menurutnya bertentangan dengan Al-Qur'an.

Pada masa selanjutnya muncullah Imam Syafi'i yang secara khusus menyusun metode-metode ter­sebut dan membukukannya dengan nama ar-Risalah, sehingga ia dikenal sebagai orang pertama yang membukukan usul fikih. Imam Syafi'i menyu­sun kitabnya itu berdasarkan khazanah fikih yang ditemuinya dari peninggalan para sahabat, tabiin, dan imam-imam mujtahid sebelum dia. la berusaha mempelajari dengan seksama perdebatan yang terjadi antara fukaha Irak dan fukaha Madinah. Lalu ia memberikan jalan tengah dari kedua pandangan tersebut dan membuat teori-teori yang bersangkutan dengan hal tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama usul fikih. Dalam kitabnya tersebut, Imam Syafi'i memaparkan pertimbangan yang dilakukan untuk mengetahui mana pendapat yang sahih dan yang tidak sahih. Diharapkan hal ter­sebut menjadi undang-undang umum yang berlaku dan menjadi pertimbangan dalam meng-istinbat-kan hukum pada setiap generasi. Dalam mendebat pendapat-pendapat para ulama sebelumnya, Imam Syafi'i telah berusaha melakukannya melalui teori yang dibahas dalam kitab ar-Risalah-nya.
Selanjutnya yang ditulis oleh Imam Syafi'i itu menjadi bahasan yang luas di kalangan ulama. Namun mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam membahas usul tersebut. Adapun yang me­reka lakukan adalah :
1. ada yang berusaha mensyarah (menjelaskan) secara panjang lebar terhadap apa yang telah dikemukakan oleh Imam Syafi'i tanpa menambah atau mengurangi apa yang telah dipaparkan dalam kitab tersebut;
2. ada yang me­lakukan penambahan dari apa yang telah ditetapkan Imam Syafi'i dan bahkan memberikan penda­pat yang berlawanan. Misalnya, kalangan Mazhab Hanafi mengakui metode-metode yang dikemuka­kan Imam Syafi'i, tetapi mereka menambahkan de­ngan metode istihsan dan 'urf (adat istiadat). Ke­mudian Mazhab Maliki juga menerima teori Imam Syafi'i, tetapi mereka menambahkan lagi dengan ijmak ahli Madinah (yang oleh Imam Syafi'i ditentang), istihsan, al-maslahah al-mursalah (yang oleh Imam Syafi'i berusaha dibatalkan), dan metode sadd az-zari'ah.
Pada prinsipnya para fukaha keempat mazhab tersebut tidak menentang dalil-dalil yang ditetapkan Imam Syafi'i, yakni Al-Qur'an, sunah, ijmak, dan kias, karena hal ini merupakan sesuatu yang telah disepakati. Namun di sisi lain, fukaha di luar Mazhab Syafi'i menambahkan dalil lain dalam usul mereka, sebagaimana yang telah digambarkan di atas.

Tujuan dan Kegunaan Ilmu Usul Fikih

Tujuan usul fikih adalah untuk mengetahui dalil-dalil syarak, baik yang menyangkut bidang akidah, ibadah, muamalah, akhlak, atau 'uqubah (hukum yang berkaitan dengan masalah pelanggaran atau kejahatan). Semuanya itu agar hukum-hukum Allah SWT tersebut dapat dipahami dan diamalkan. Dengan demikian usul fikih bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah SWT terhadap suatu peristiwa yang memerlukan penanganan hukum.
Para ulama usul mengemukakan kegunaan ilmu usul fikih ini secara sistematis :
1. Usul fikih memberikan gambaran jalan yang jelas kepada para mujtahid tentang bagaimana cara menggali hukum melalui metode-metode yang tersusun baik.
2. Usul fikih merupakan suatu jalan untuk memelihara agama dari penyalahgunaan dalil, karena da­lam kajian usul fikih dibahas secara jelas dan mendalam bagaimana suatu hukum tetap berada dalam pengakuan syarak, sekalipun hal tersebut bersifat ijtihad.
3. Melalui usul fikih dapat diketahui bagai­mana cara imam mujtahid mempergunakan dalil-dalil yang ada dan bagaimana cara mereka dalam menggali hukum Islam dari nas (teks) Al-Qur'an, sunah atau dari dalil-dalil lainnya. Hal ini terutama bagi orang-orang yang menganut suatu mazhab. Usul Fikih merupakan sesuatu yang penting bagi mereka untuk mengetahui bagaimana cara imam mazhab mereka meng-istinbat-kan hukum.
4. Usul fikih memberikan kepada para peminatnya kemampuan berpikir secara fikih dan menunjukkan secara benar jalan pikiran fikih tersebut, sehingga secara benar pula mereka memahami hukum-hukum yang digali dari nas tersebut. Di samping itu, orang yang mendalami usul fikih akan memilikikemampuan meng-istinbat-kan hukum terhadap peristiwa yang dihadapinya. Dengan penguasaan usul fikih, persoalan-persoalan baru yang muncul, yang belum ada ketentuan hukumnya oleh para ulama terdahulu, dapat dipecahkan secara baik, sehingga seluruh persoalan yang dihadapi dapat ditentukan hukumnya sesuai dengan metode usul yang ada

USUL FIKIH

Arti Usulul Fiqh yaitu : Mengetahui dalil fikih secara global (ijmal) dan cara mempergunakannya serta mengetahui keadaan orang yang mempergunakannya (mujtahid atau ahli ijtihad); mengetahui kaidah kulli (umum) yang dapat dipergunakan untuk meng-istinbat-kan (mengambil) syarak (hukum Islam) dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Berasal dari kata usul dan fiqh (fikih). Kata usul (jamak dari kata asl) secara bahasa mengandung beberapa pengertian, di antaranya adalah sesuatu yang di atasnya dibangun sesuatu yang lain. Secara istilah, asl mempunyai beberapa pengertian, yaitu :
1. far' (cabang), seperti anak adalah cabang dari ayah;
2. kaidah, seperti dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang mengatakan: "Islam itu dibina atas lima usul (kaidah)";
3. rajih (yang lebih kuat), seperti pernyataan: Al-Qur'an asl bagi kias. Artinya Al-Qur'an lebih kuat daripada kias;
4. mustashab (sesuatu yang dianggap sebagai semula), misalnya seorang yang berwudu merasa ragu apakah ia masih suci atau tidak, sementara ia merasa yakin betul belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudunya. Oleh sebab itu, ia tetap merasa masih berwudu;
5. dalil (alasan), seperti ucapan para ulama: "Usul dari hukum ini adalah ayat dari Al-Our'an."
Selanjutnya fikih dapat diartikan sebagai paham atau pemahaman yang mendalam yang membutuh-kan pengerahan potensi akal. Pengertian ini didapati dalam surah Hud ayat 91 dan surah al-An'am ayat 65. Fikih menurut Imam Syafi'i adalah me­ngetahui hukum syarak yang bersifat 'amali (amalan) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang ter­perinci.

Perbedaan Usul Fikih dan Fikih.
Dari definisi di atas terlihat bahwa objek kajian usul fikih adalah :
1. pembahasan dalil-dalil yang dipergunakan dalam menggali dalil-dalil syarak. Dalil-dalil syarak tersebut ada yang disepakati oleh semua ulama, yaitu Al-Our'an dan sunah, dan ada yang disepakati oleh kebanyakan ulama, yaitu ijmak dan kias. Ada pula yang diperselisihkan oleh mereka tentang kehujahannya, seperti istihsan, istishab (memberlakukan hukum yang ada sejak semula), al-maslahah al-mursalah,sadd az-zari'ah (mencari inti permasalahan dan dampak suatu perbuatan), dan urf (adat istiadat);
2. pembahasan dalil-dalil yang bertentangan dan bagaimana cara men-tarjih (menguatkan), seperti pertentangan antara Al-Qur'an dan sunah atau antara sunah dan pendapat akal;
3. pembahasan ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat seorang mujtahid;
4. pembahasan syarak itu sendiri, apakah yang bersifat tuntutan (melakukan atau meninggalkan), yang sifatnya boleh memilih atau yang sifatnya wad'i (sebab, syarat, dan halangan); dan
5. bagaimana cara berhujah dengan dalil-dalil tersebut, apakah dari segi lafal dalil itu sendiri atau melalui mafhum (pemahaman) terhadap nas.
Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara objek usul fikih dan objek fikih itu sendiri. Objek kajian usul fikih adalah dalil-dalil, sedangkan objek fikih adalah perbuatan seseorang yang telah mukalaf (telah dewasa dalam menjalankan hukum). Jika usuli (ahli usul fikih) membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang bersifat umum, maka fukaha (ahli fikih) mengkaji bagaimana dalil-dalil juz'i (sebagian) dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa yang partial (khusus).

SUMBER HUKUM FIQH

Sumber dari produk hukum dengan segala pembagiannya yang dise­butkan di atas oleh para ulama dibagi dalam dua bentuk, yaitu yang disepakati sebagai sumber dan yang diperbedakan. Sumber yang disepakati ter­sebut adalah Al-Qur'an dan hadis. Adapun Ijmak dan kias dinyatakan sebagai sumber hukum oleh kebanyakan ulama. Sebagian ulama, betapa pun kecilnya jumlah mereka, ada yang memandang ijmak dan kias hanya sebagai alat penggali hukum, bukan sumber hukum. Dalil-dalil hukum Islam lainnya yang diperselisihkan ulama ialah istihsan, al-Maslahah al-Mursalah al-Mursalah, 'urf(adat istiadat),sadd az-zari'ah (Usul Fikih), istishab, dan lain sebagainya.
Mustafa Zarqa (ahli usul dan fikih) mengatakan bahwa bagian yang disepakati tersebut dinamakan al-masadir al-asasiyyah (sumber pokok), sedangkan bagian yang diperselisihkan dinamakan al-ma­sadir at-taba'iyyah (sumber sekunder). Disebut sumber sekunder karena kias, ijmak, istihsan, dan sebagainya itu tidak dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum, akan tetapi harus disandarkan pada Al-Qur'an dan hadis.
Perbedaan dalam menggunakan metode bisa menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Karena itu penilaian tentang hukum suatu perbuat­an mukalaf bisa pula lebih dari satu. Hal ini sangat tergantung kepada mujtahid (ahli ijtihad) mana dan metode apa yang digunakan dalam menyelesaikan atau mencarikan hukum perbuatan mukalaf tersebut. Misalnya, setiap pemegang amanah tidak dituntut pertanggung-jawabannya jika barang titipan yang diamanahkan kepadanya untuk dipelihara rusak atau hilang tanpa disengaja. Hukum tidak dituntutnya pertanggung-jawaban pemegang ama­nah ini didasarkan pada kehendak kaidah umum (kias). Namun, pendapat lain yang mempergunakan kehendak istihsan mengatakan bahwa jika hu­kum umum itu diberlakukan untuk segala tempat dan zaman, apalagi pada saat sifat amanah sudah mulai berkurang, maka hal ini akan membawa pada sikap memakan hak orang lain secara batil (tidak benar). Untuk itu agar yang disebut terakhir ini dapat dihindari, pemegang amanah adakalanya harus diminta pertanggung-jawabannya. Misalnya, jika tukang binatu mengatakan bahwa pakaian yang diserahkan kepadanya untuk dicuci hilang, maka ia Naskah tua ilmu fikih yang ditemukan di Kampung Cangkuang, Kec. Leles, Garut.harus diminta pertanggung-jawabannya, sekalipun hilangnya pakaian tersebut tidak disengaja; kecuali jika penyebabnya adalah sesuatu yang tak mungkin diatasi manusia (seperti kebakaran dan kebanjiran). Hal ini dilakukan agar pemegang amanah ter­sebut tidak mempergunakan posisinya untuk mencari keuntungan yang besar. Cara yang ditempuh ini oleh ulama dari kalangan Mazhab Hanafi disebut istihsan. Dari contoh ini terlihat bahwa dalam kasus yang sama, tetapi cara penyelesaian masalahnya berbeda, maka hukumnya pun berbeda. Kias menghendaki pemegang amanah tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan atau hilangnya barang yang diamanahkan, selama itu bukan karena kesengajaan dan kelalaian dia. Istihsan menentukan bahwa pertanggung-jawabannya harus diminta, sekalipun bukan dengan kesengajaan dan kelalai­an. Pemegang metode istihsan berpendapat, kalau tidak demikian, maka kesempatan ini akan dipergunakan oleh pemegang amanah untuk mengeruk keuntungan lebih banyak dengan cara ilegal.

PERKEMBANGAN ILMU FIQH

Pertumbuhan dan perkembangan fikih sepanjang sejarah hukum Islam oleh Mustafa Zarqa dibagi dalam beberapa periode, yaitu:
1. periode risalah, yaitu semasa hidup Rasulullah SAW;
2. periode al-Khulafa' ar-Rasyidun (empat khalifah besar/utama) sampai pertengahan abad pertama Hijriah;
3. dari pertengahan abad pertama Hijriah sampai permulaan abad kedua Hijriah;
4. dari awal abad kedua sam­pai pertengahan abad keempat Hijriah;
5. dari pertengahan abad keempat sampai jatuhnya Bagh­dad pada pertengahan abad ketujuh Hijriah;
6. dari pertengahan abad ketujuh sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah (Kodifikasi Hu­kum Perdata Islam) di zaman Turki Usmani (kerajaan ottoman) yang diundangkan tanggal 26 Sya’ban 1293; dan
7. sejak munculnya Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah sampai pada zaman modern.
Periode Risalah. Periode semasa hidup Rasul­ullah SAW. Pada periode ini fikih masih dipahami sebagai segala yang dikandung oleh Al-Qur'an dan hadis, yaitu mencakup persoalan akidah, ibadah, muamalah, dan adab.
Imam al-Gazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin menyatakan bahwa fikih di zaman awal (masa Rasulullah SAW) mengandung ilmu yang menuju jalan akhirat, dengan didasarkan pada su­rah at-Taubah ayat 122 yang artinya: "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." Kalimat inzar (peringatan dengan kabar yang menakutkan) menurut Imam al-Gazali hanya menyangkut permasalahan akhirat, bukan permasalahan dunia. Kemudian ia juga mendasarkan pendapatnya dengan surah al-A'raf ayat 179 yang artinya: "...Mereka metnpunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami..." Hati tidak dipergunakan memahami makna-makna iman kepada Allah SWT dan segala yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya. Dengan demikian Imam Al Gazali melihat bahwa permasalahan primer dari fikih tersebut adalah yang berkaitan dengan pengetahuan tentang akhirat, sedangkan fikih yang berkaitan de­ngan masalah muamalah hanyalah masalah yang sekunder atau tambahan.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa fikih di zaman Rasulullah SAW belum terbagi dalam bidang-bidang tertentu, tetapi fikih mencakup segala yang terkandung dalam Al-Qur'an dan hadis. Terciptanya hukum dalam berbagai masalah di waktu itu dapat melalui pertanyaan para sahabat tentang suatu peristiwa, yang jawabannya didapat dari wahyu Allah SWT atau melalui sunah Rasulullah SAW. Dalam kesempatan lain Allah SWT juga menurunkan wahyu-Nya dalam rangka memberikan tuntunan bagi keadaan masyarakat saat itu, atau juga berupa teguran, perintah, dan sebagainya. Dari peristiwa-peristiwa inilah nantinya muncul hukum-hukum yang terperinci dari peristiwa yang ada. Dengan demikian rujukan untuk menentukan hukum di waktu itu hanya Al-Qur'an dan hadis Rasulullah SAW.
Periode al-Khulafa'ar-Rasyidun. Semasa Ra­sulullah SAW hidup, para sahabat belum memikirkan secara serius permasalahan-permasalahan hu­kum karena beban ini seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW sebagai sahib at-tasyri' (pemegang syariat). Mereka hanya mendengarkan, mengikuti, dan melaksanakan segala yang bersumber dari Ra­sulullah SAW serta menyampaikan keluhan-keluhan hukum kepada Rasulullah SAW. Para sahabat pada dasarnya tidak berani melakukan ijtihad sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Setelah Rasulullah SAW wafat sehingga tempat bertanya tentang hukum suatu masalah yang tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur'an dan sunah tidak ada lagi, maka mulailah sahabat memberanikan diri untuk melakukan ijtihad. Melakukan ij­tihad setelah wafatnya Rasulullah SAW merupakan panggilan sejarah yang tak dapat dihindari, yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

1. peristiwa yang terjadi semakin banyak, sementara Rasulullah SAW yang selama ini menjadi sumber rujukan hukum mereka tidak ada lagi dan
2. masyarakat sudah heterogen dengan adanya penaklukan-penaklukan Islam ke luar Semenanjung Arab, sehingga muncul di tengah-tengah umat Islam hukum dan kebudayaan baru yang kesemuanya ini mendorong para sahabat untuk melakukan ijtihad.
Setiap menghadapi permasalahan yang muncul, pertama kali mereka berusaha untuk menemukan jawabannya di dalam Al-Qur'an. Jika mereka tidak dapati dalam Al-Qur'an, mereka meneliti hadis-hadis Nabi SAW. Apabila dalam hadis Nabi SAW juga tidak ada jawabannya, maka mereka melaku­kan ijtihad dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip pokok yang ditinggalkan Rasulullah SAW. Dengan demikian bermunculanlah hasil ijtihad para sahabat dalam berbagai permasalahan umat. Namun, di masa ini fikih belum merupakan bidang ilmu yang terkodifikasi. Dalam pada itu perlu dicatat bahwa pada masa inilah dimulainya penggunaan akal (ar-ra'yu) dan kias dalam mencarikan jawaban hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Beberapa ijtihad telah dilakukan oleh Umar bin Khattab, khalifah yang sangat mengagumkan dalam menjawab permasalahan umat dan berorientasi untuk kemaslahatan umat itu sendiri.
Periode Pertengahan Abad Pertama sampai Awal Abad Kedua Hijriah. Pada masa Usman bin Affan menjabat sebagai khalifah, para sahabat mulai berpencar ke berbagai daerah. Dengan berpencarnya sahabat ini di berbagai daerah, yang sistern sosial masyarakatnya berbeda pula, maka se­makin banyak hasil ijtihad yang muncul sesuai de­ngan kebutuhan masyarakat setempat. Di Irak, Ibnu Mas’ud berperan sebagai sahabat yang menjawab berbagai masalah yang dihadapinya di sana, sementara sistem masyarakat Irak berbeda dengan yang ada di Madinah dan Mekah. Di samping itu di Irak telah terjadi percampurbauran etnis antara Arab dan Persia (Iran), yang membuat penanganan permasalahan di Irak akan berbeda dengan yang ada di Madinah dan Mekah yang memiliki masya­rakat yang homogen. Dalam berijtihad, Ibnu Mas'ud mengikuti cara-cara yang telah dilakukan Umar bin Kattab
, yang dikenal lebih berorientasi pada kepentingan umat dan kemaslahatan mereka, tanpa terlalu terikat dengan teks-teks (arti harfiah) Al-Qur'an dan sunah. Dengan demikian penggunaan nalar sangat dominan dalam berijtihad. Dari sinilah mulai munculnya madrasah atau aliran Ah-lur Ra'yi di Irak.
Sementara itu di Madinah fikih dikembangkan oleh Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar bin Khattab, serta di Mekah oleh Ibnu Abbas dan para sahabatnya. Fukaha kedua kota ini nantinya mempunyai metode yang sama dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, yaitu berusaha untuk menentukan hukum tersebut melalui Al-Qur'an dan sunah. Mereka senantiasa mencarikan hadis dan berpegang kuat pada hadis dalam menetapkan hukum. Hal ini dimungkinkan untuk kedua kota tersebut karena memang di kedua kota ini hadis-hadis banyak tersebar, di samping masyarakatnya homogen, sehingga penanganan permasalahan yang timbul tidak sekompleks permasalahan yang dihadapi Ibnu Mas'ud di Irak. Cara-cara yang ditempuh oleh para sahabat di Madinah dan Mekah inilah yang nanti­nya merupakan cikal bakal bagi munculnya aliran Ahlulhadis.
Murid-murid Ibnu Mas'ud, Zaid bin Sabit, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas tersebut nantinya juga bertebaran di kota-kota lain, misalnya Sa'id bin Musayyab di Madinah, Ata bin Abi Rabah di Mekah, Ibrahim an-Nakha'i di Kufah, Hasan Basri di Basra, Makhul di Syam (Suriah), dan Tawus di Yaman. Murid-murid para sahabat ini (yang dikenal dengan tabiin) juga mengembangkan fikih-fikih baru sesuai dengan permasalahan yang me­reka hadapi di kota tempat mereka tinggal yang satu sama lain juga berbeda.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa fikih semakin berkembang sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapi. Penggunaan ar-ra'yu (akal) pada masa ini dalam berijtihad, seperti cara kias, istihsan, dan istislah (membetulkan), semakin luas dan mulailah terbentuk mazhab-mazhab fikih. Mazhab fikih yang terbentuk ini mengikuti nama-nama para tabiin yang menjadi pemegang fatwa hukum di negeri tersebut. Misalnya, dalam sejarah perkembangan fikih dikenal adanya istilah fikih Auza dan fikih Ibrahim an-Nakha'i. Di samping itu fikih juga sudah merupakan salah satu cabang ilmu yang mendapat perhatian para ulama di waktu itu, yang menjadi dasar kesempurnaan ilmu fikih di zaman sesudahnya di tangan imam mazhab yang empat (Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, dan Imam Hanbali).
Periode Awal Abad Kedua sampai Pertengahan Abad Keempat Hijriah. Pada periode ini fikih berkembang dengan pesat setelah pada pe­riode sebelumnya diletakkan dasar-dasarnya oleh para Tabiin. Periode ini ditandai dengan munculnya imam-imam mazhab yang terdiri atas Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab maliki. Mazhab Syafiie, dan m\Ma Mazhab Hanbali.
Pada awal periode ini terjadi perdebatan sengit antara Ahlulhadis dan Ahlur Ra’yi. Pada akhirnya pertentangan ini dapat mereda tatkala ar-ra'yi dapat dianggap sebagai salah satu cara dalam meng istinbat kan hukum fikih melalui batasan-batasan dan kaidah-kaidah yang ditentukan oleh Ahlur Ra'yi, sehingga dengan kaidah-kaidah yang mereka buat tersebut mereka terhindar dari tuduhan me­netapkan hukum dengan hawa nafsu yang terlepas dari dalil syar'i.
Imam Abu Zahrah (ahli usul, fikih, dan kalam) mengemukakan bahwa perdebatan ini tidak berlangsung lama karena para murid imam mazhab melakukan interaksi dengan mazhab lainnya, se­perti yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, sahabat Imam Hanafi, yang sengaja mendatangi Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwatta' karangan Imam Malik; Imam Syafi’i menemui Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani ke Irak untuk mengetahui secara jelas fikih ahli Irak; dan Imam Abu Yusuf, sahabat Imam Hanafi, berusaha untuk mencari hadis-hadis yang mendukung pendapat Ahlur Ra'yi. Oleh sebab itu terlihat banyak kitab-kitab fikih dari kedua kelompok ini yang dipenuhi oleh hadis dan ar-ra'yu.
Pada awal periode ini juga dilakukan pembukuan kitab-kitab fikih yang dilakukan pada setiap mazhab, di antaranya kitab al-Muwatta' oleh Imam Malik, kitab al-Umm oleh Imam Syafi'i, dan kitab fikih yang disusun oleh Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Imam Hanafi). Demikian juga halnya dengan ilmu usul fikih; yang paling awal adalah buku ar-Risalah karangan Imam Syafi'i.
Perkembangan-perkembangan yang ada ini juga membawa dampak yang lebih luas. Fikih tidak saja di-istinbat-kan dan disusun sesuai dengan kebutuhan praktis masyarakat dan sesuai dengan kehendak perkembangan zaman, tetapi juga muncul hukum fikih yang membahas tentang berbagai kemungkinan dalam masalah-masalah fikih yang belum terjadi.
Periode Pertengahan Abad Keempat sampai Pertengahan Abad Ketujuh Hijriah. Pada periode ini terlihat gerakan ijtihad mulai melemah. Para fukaha lebih memfokuskan diri mereka untuk melakukan pengkajian-pengkajian terhadap pendapat-pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Kajian tersebut merupakan syarah (keterangan, penjelasan, ulasan), tanqih (penerapan), dan tahqiq (penetapan) terhadap buku-buku fikih dalam mazhab mereka masing-masing. Hal ini dilakukan para ulama tersebut karena adanya suatu anggapan bahwa tidak ada lagi ulama yang memenuhi syarat-syarat mujtahid pada periode itu. Kalaupun ada, mereka itu hanya merupakan muj­tahid fi al-mazhab (mujtahid dalam aliran mazhab), bukan mujtahid mustaqill (mujtahid yang berdiri sendiri). Lebih dari itu ada di antara ulama mazhab tersebut yang mengemukakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Abu Zahrah mengemukakan bahwa penyebab munculnya pernyataan tertutupnya pintu ijtihad antara lain adalah :
1. munculnya ta'assub al-mazhab (fanatik buta pada satu mazhab), yang mengakibatkan kejumudan (kebekuan berpikir) bagi para murid-murid imam mazhab itu sendiri;
2. dorongan pihak penguasa bagi para hakim (kadi) untuk memutuskan perkara dengan berpegang pada pendapat satu mazhab saja yang disetujui oleh khalifah; dan
3. pembukuan pendapat-pendapat mazhab tertentu pada satu buku yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku tersebut sebagai pedoman, sehingga membuat aktivitas ijtihad tidak ada lagi.
Jika pada periode sebelumnya para mujtahid menjawab permasalahan yang timbul melalui ij­tihad yang mereka lakukan, maka dengan dibukukannya pendapat para imam, mereka merasa cukup untuk mencarikan jawabannya melalui buku tersebut dengan tidak melakukan ijtihad sendiri. Implikasi lainnya adalah munculnya taklid terha­dap mazhab tertentu. Walaupun ada ijtihad yang dilakukan oleh beberapa ulama, tetapi ijtihad itu tidak lebih dalam bentuk men-tarjih pendapat yang ada dalam mazhabnya.
Pada masa ini juga terjadi persaingan ketat an­tara pengikut mazhab. Dalam persaingan ini kadang-kadang sifat subjektivitas lebih menonjol daripada sifat ilmiah dan berbeda dengan sikap imam mazhabnya.
Periode Pertengahan Abad Ketujuh Hijriah sampai Muncul Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah (1293 H). Jika pada periode sebelumnya aktivitas ijtihad sudah mulai mundur yang mengakibatkan kejumudan dan taklid, maka pada periode ini fikih semakin memperlihatkan wajah kekakuannya. Ij­tihad sudah semakin tertutup dan penyelesaian permasalahan yang muncul tinggal merujuk pada kitab-kitab mazhab yang ada saja, tanpa dibahas dan didiskusikan lagi. Pencapaian maksud-maksud syarak (maqasid asy-syar'iyyah) dan orientasi pada kepentingan umat yang pada awal munculnya fikih banyak menjadi sandaran pertimbangan hukum, pada periode ini tidak menjadi pertimbangan lagi. Pembahasan fikih oleh para ulama terbatas pada pemberian syarah, hasyiah (catatan tertulis di tepi lembaran buku), dan takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan) terhadap kitab-kitab induk dalam mazhab masing-masing. Oleh sebab itu kitab-kitab yang ditulis pada masa ini lebih banyak bersifat penjelasan serta perluasan pemahaman terhadap apa yang ditulis oleh pengarang terdahulu. Oleh karenanya, satu buku bisa disyarah oleh lebih dari dua orang. Kalimat singkat yang terdapat dalam kitab induk bisa disyarah sampai berhalaman-halaman. Kemudian syarah ini disyarah lagi oleh yang lainnya, dan seterusnya.
Apa yang dikenal di kalangan fukaha dengan istilah syarah, hasyiah, dan takrir pada umumnya dimaksudkan sebagai penjelasan lafal yang tertulis dalam kitab tersebut, tanpa mencoba mengungkap tujuan ilmiah yang dikandung kitab itu. Hal ini pada akhirnya membuat kreativitas ilmiah secara mandiri yang sesuai dengan perkembangan zaman dan masyarakat tidak lagi muncul. Namun, apa yang dilakukan para fukaha pada periode ini tak lepas dari niat ingin mempermudah pemahaman kitab-kitab induk tersebut.
Ada beberapa hal penting dalam perkembangan fikih pada periode ini. Pertama, berkembangnya aktivitas pembukuan fatwa-fatwa hukum resmi de­ngan menyusunnya pada bab-bab tertentu. Kitab-kitab fatwa ersebut biasanya disusun dalam bentuk tanya jawab, yang jawaban tersebut biasanya disandarkan pada mazhab tertentu. Kedua, munculnya kehendak penguasa dalam menentukan sebagian hukum fikih, seperti yang dilakukan oleh penguasa Usmani tentang larangan menerima gugatan per­kara jika telah melalui rentangan waktu tertentu (dalam istilah hukum: kadaluarsa). Hal ini terjadi pada kasus-kasus peradilan dan diatur tersendiri oleh penguasa Usmani pada waktu itu. Kehendak penguasa untuk menerapkan hukum-hukum tertentu atau penguasa ikut campur dalam menentukan pilihan hukum yang akan diterapkan peradilan merupakan warna lain dari fikih pada periode ini. Ketiga, munculnya usaha pengkodifikasian hukum pada akhir periode ini dalam bentuk undang-undang sebagai pengganti hukum fikih Mazhab Hanafi yang merupakan mazhab resmi Turki Usmani. Usaha ini dilakukan setelah mempertimbangkan perkembangan-perkembangan baru dan pengaruh hukum-hukum Eropa, sehingga muncullah hukum perdata resmi Turki Usmani dengan nama Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah pada 26 Syakban 1293.
Periode Munculnya Majallah al-Ahkam al-'Ad­liyyah sampai Periode Modern. Mustafa Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri fikih Islam pada masa ini.
Pertama, munculnya kodifikasi fikih sesuai de­ngan tuntutan zaman, yaitu yang terhimpun dalam Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah yang khusus memuat hukum-hukum mengenai muamalah, yang da­lam istilah hukum positif disebut dengan hukum perdata. Sebelumnya, yang menjadi pegangan resmi Kerajaan Usmani adalah fikih Hanafi. Namun fikih Hanafi itu sendiri terdiri atas berbagai pendapat sesuai dengan yang dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanafi itu sendiri, sehingga sulit dilakukan pemilihan hukum mana yang akan dite­rapkan dari pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Oleh sebab itu diperlukan kesatuan hukum yang akan dijadikan pedoman dan sekaligus dite­rapkan di kerajaan, sehingga muncullah pemikiran kodifikasi hukum ini, walaupun sumber utamanya adalah Mazhab Hanafi. Pendapat yang dipilih da­lam Mazhab Hanafi ini adalah pendapat yang lebih dekat dengan kepentingan masyarakat pada masa itu. Dengan usaha kodifikasi hukum ini,. maka para praktisi hukum tidak perlu berijtihad lagi untuk memilih hukum mana yang akan diterapkan.
Kedua, semakin meluasnya usaha untuk melakukan kodifikasi hukum; bukan saja hukum perdata, tetapi juga hukum pidana, hukum acara, dan hu­kum administrasi negara. Namun yang erat hubungannya dengan fikih Islam hanyalah hukum perdata. Hukum-hukum lain tersebut sudah mulai bersumber dari hukum Barat. Dalam hukum per­data tersebut terkandung tiga hal, yaitu undang-undang yang mengatur tata niaga/perdagangan, undang-undang pertanahan, dan hukum acara per­data. Semakin meluasnya usaha kodifikasi ini dipengaruhi antara lain oleh semakin meluasnya hubungan ekonomi dalam dan luar negeri, kecenderungan penguasa untuk mengikat berbagai bentuk tindakan hukum, transaksi tanah dan lain sebagainya dengan tata administrasi yang baik dan rapi, dan kecenderungan penguasa ikut campur dalam masalah-masalah hukum dalam mengatur segala segi kehidupan masyarakat. Dengan demikian ada dua bentuk kodifikasi hukum pada waktu itu, yaitu kodifikasi bidang materi (seperti hukum perdata dan hukum pidana) dan kodifikasi bidang nonmateri, yaitu yang menyangkut proses penyelesaian perkara sejak pengajuan gugatan sampai penetapan vonis oleh hukum, yang disebut dengan hukum acara.
Ketiga, munculnya usaha untuk menerapkan materi hukum tanpa terikat pada salah satu mazhab saja dari mazhab yang empat, tetapi juga mulai mempertimbangkan mazhab-mazhab yang selama ini sering tidak diungkapkan, seperti mazhab Makhul, Hasan Basri, an-Nakha'i, Auza, dan Abi Laila. Dengan demikian setiap daerah tidak hanya membatasi diri pada satu mazhab tertentu. Hal ini nantinya juga banyak berpengaruh dalam penyempurnaan Majallah al-Ahkam al-'Adliyyah tersebut. Selanjutnya pada masa ini juga muncul kodifikasi hukum keluarga, yang dikenal dengan sebutan qanun al-ahwal asysyakhsiyyah, yang materi hukumnya tidak terikat dengan pendapat mazhab tertentu saja. Sebagian ulama pada periode modern ini berpendapat bahwa keseluruhan mazhab tersebut harus dipandang sebagai satu mazhab saja dalam syariat Islam, sedangkan mazhab-mazhab pribadi, seperti Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i, dianggap sebagai salah satu pendapat dari keseluruhan syariat. Dengan demikian dalam melakukan kodifi­kasi hukum para pakar hukum bebas untuk memi­lih pendapat mana yang lebih sesuai dengan zamannya dan memenuhi kepentingan umat. Pemi­kiran ini ingin menghilangkan ta'assub mazhab (fanatisme kemazhaban) yang selama ini menjadi kendala ijtihad.
Dari berbagai periode fikih yang disebutkan di atas terlihat bahwa fikih itu dimulai dengan cara yang sederhana dan muncul untuk permasalahan-permasalahan praktis (amali), kemudian berkembang sampai pada pertimbangan yang sifatnya bukan praktis lagi, tetapi sudah merupakan suatu pengandaian, dalam arti menjawab permasalahan yang belum terjadi (yang lazim disebut dengan is­tilah fikih taqdiri). Hal ini berakibat pada terjadinya banyak perbedaan pendapat dalam fikih, kecenderungan mempertahankan pendapat, dan tertutupnya pintu ijtihad. Namun sebaliknya, yang disebut terakhir ini membuat khazanah kitab-kitab fikih semakin banyak, yang menunjukkan kemampuan ilmiah para pengarang waktu itu.
Pada periode modern kecenderungan fikih lebih menjurus pada ketidakterikatan pada salah satu mazhab, dan bahkan menganggap pendapat satu mazhab tersebut sebagai salah satu pendapat saja yang tidak mutlak diikuti. Periode modern juga diwarnai oleh kecenderungan dan pertimbangan praktis, sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.

PEMBAGIAN HUKUM FIQH

Para ulama telah membagi hukum-hukum fikih tersebut sebagai berikut.
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT, seperti salat, puasa dan haji; dinamakan dengan ibadah.
2. Hukum yang ber­kaitan dengan permasalahan keluarga, seperti nikah, talak, masalah keturunan, dan nafkah; dise­but ahwal asy-syakhsiyyah.
3. Hukum yang ber­kaitan dengan hubungan antara sesama manusia dalam rangka memenuhi keperluan masing-masing yang berkaitan dengan masalah harta dan hak-hak; disebut muamalah.
4. Hukum yang berkaitan dengan perbuatan atau tindak pidana; disebut jinayah atau 'uqubah.
5. Hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa antara sesama ma­nusia, dinamakan ahkam al-qada'.
6. Hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dan warganya; disebut al-ahkam as-sultaniyyah atau siyasah asy-syar'iyyah.
7. Hukum yang mengatur hubung­an antarnegara dalam keadaan perang dan damai; disebut siyar atau al-huquq ad-dawliyyah.
8. Hu­kum yang berkaitan dengan akhlak, baik dan buruk; disebut dengan adab.
Keseluruhan hukum yang disebutkan di atas tidak hanya mengandung makna keduniaan, tetapi juga mengandung makna keakhiratan. Artinya, nilai dari suatu hukum tidak hanya terkait dengan hukum di dunia ini, tetapi juga hukum ukhrawi, karena Islam tidak memisahkan antara dunia dan akhirat, walaupun keduanya bisa dibedakan.

OBJEK BAHASAN ILMU FIQH

Bidang bahasan ilmu fikih adalah setiap perbuatan Mukallaf (orang dewasa yang wajib menjalankan hukum agama), yang terhadap perbuatannya itu ditentukan hukum apa yang harus dikenakan. Misalnya, jualbeli yang dilakukannya, salat, puasa, dan pencurian yang dilakukannya. Jika jual-beli, salat, dan puasa yang dikerjakannya memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan Islam, maka pekerjaannya tersebut dikatakan sah. Sementara pencurian yang berlawanan dengan kebutuhan syarak dihukumkan haram dan wajib dikenakan hukuman pencurian. Dengan mengerjakan salat dan puasa berarti ia telah meme­nuhi kewajiban syara'. Dengan demikian, setiap perbuatan mukalaf yang merupakan objek fikih mempunyai nilai hukum.
Nilai dari tindakan hukum seorang mukalaf ter­sebut bisa bersifat wajib, sunah, boleh atau mubah, makruh, dan haram, yang semuanya ini dinamakan hukum taklifi (bersifat perintah, anjuran, dan larangan yang wajib bagi setiap mukalaf) dan bisa juga dengan nilai sah, batal, dan fasid (rusak), yang dikenal dengan nama hukum wad'i (khitab/perkataan Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu [hukum]).
Dari definisi juga dapat disimpulkan bahwa objek bahasan fikih tersebut menyangkut hukum-hukum amaliah, tidak termasuk bidang akidah den­gan segala cabang-cabangnya karena hal tersebut termasuk bidang bahasan ilmu lain. Fikih dimaksudkan agar syarak tersebut dapat diterapkan ke­pada para mukalaf, baik terhadap perbuatan maupun terhadap perkataan mereka. Fikih merupakan rujukan bagi para kadi, mufti (pemberi fatwa), dan para mukalaf untuk mengetahui hukum-hukum syar'i dari perkataan dan perbuatan yang me­reka lakukan, sehingga para mukalaf mengetahui apa saja yang wajib baginya dan yang haram dikerjakannya.

DIFINISI FIQH

Secara bahasa, fikih berarti paham, dalam arti pengertian atau pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Para ulama usul fiqih mendefinisikan fikih sebagai mengetahui hukum-hukum Islam (syara’) yang bersifat amali (amalan) melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Adapun para ulama fikih mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum amaliah (yang sifatnya akan diamalkan) yang disyariatkan dalam Islam.

Pengertian fikih secara bahasa, yang berarti paham, antara lain dapat dilihat pada surah Hud ayat 91 yang artinya: "Mereka berkata: Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu..." dan surah al-An'am ayat 65 yang artinya: "...Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami." Dalam pengertian istilah syar'i (yang berdasarkan syarak), kedua makna di atas dikandung oleh istilah tersebut.

Dari definisi para ulama usul fikih terlihat bahwa fikih itu sendiri berarti melakukan ijtihad, karena hukum-hukum tersebut diistinbatkan dari dalil-dalilnya yang terperinci dan khusus, baik me­lalui nas atau melalui dalalah (indikasi) nas. Semua hal itu tidak dapat dilakukan kecuali melalui ijtihad. Dari definisi para ulama fikih terlihat bahwa fikih merupakan syarak itu sendiri, baik hukum itu qat'i (jelas, pasti) atau zanni (masih bersifat dugaan, belum pasti), dan memelihara hu­kum furuk (hukum tentang kewajiban agama yang tidak pokok) itu sendiri secara keseluruhan atau sebagian.
Dengan demikian, pada definisi pertama ter­lihat bahwa seorang fakih (ahli fikih) bersifat aktif dalam memperoleh hukum-hukum itu sendiri, sedangkan dalam definisi kedua seorang fakih hanya memelihara atau menghafal hukum-hukum dari peristiwa-peristiwa yang ada.