CARA MELAKUKAN IJTIHAD

Dalam melakukan ijtihad, para fukaha menempuh beberapa cara dan yang umum dipakai adalah kias, istihsan, al-maslahah al-mursalah, dan 'urf. Kias ialah menyamakan hukum suatu masalah dengan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah karena ilah (sebab)nya sama. Misalnya,. hukum minum bir sama dengan hukum minum khamar, yaitu haram, karena ilat keduanya sama, yaitu sama-sama memabukkan (menghilangkan ingatan). Masalah-masalah yang boleh dilakukan dengan cara ini adalah masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah lain yang sejenis dan kemudian menetapkan bagi masalah itu suatu hukum yang lain karena adanya alasan yang kuat bagi pengecualian itu. Ada dua macam istihsan, yaitu istihsan kias yang disebut juga kias al-khafi, dan istihsan darurat. Istihsan kias atau kias al-khafi ialah mengecualikan hukum suatu masalah yang telah ditetapkan dengan kias dan mencari kias , yang lebih kuat atau yang paling kuat di antara beberapa kias yang bertentangan mengenai suatu masalah. Istihsan darurat adalah membuat hukum yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dengan kias karena alasan darurat. Hal ini dimungkinkan apabila penerapan hukum yang ditetapkan secara kias akan menimbulkan kesulitan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai istihsan dalam meng-istinbata-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Al-maslahah al-mursalah adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur'an dan sunah untuk mencapai kebaikan Mujtahid yang dikenal banyak memakai cara al-maslahah al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
Adapun yang dimaksud dengan 'urf adalah kebiasaan umum atau adat istiadat. Ditinjau dari pemakaiannya, 'urf terbagi dua, yaitu 'urf umum dan 'Urf khusus. 'Urf umum ialah kebiasaan yang berlaku untuk semua orang di semua negeri dalam suatu masalah, sedang 'urf khusus ialah 'urf yang dipakai di negeri tertentu atau dalam masyarakat tertentu. 'Urf dapat berupa perkataan dan dapat pula berupa perbuatan

MUJTAHID

Orang yang melakukan ijtihad; ula­ma yang ahli dalam bidang fikih. Agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat, seorang mujtahid harus memiliki beberapa persyaratan.Persyaratan untuk menjadi mujtahid, menurut Yusuf al-Qardawi (ahli usul dan fikih) dalam bukunya al-Ijtihad fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah, ada delapan, yaitu:
1. memahami Al-Qur'an dengan asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur'an), ayat-ayat nasikh dan mansukh (yang menghapuskan dan yang dihapus; Nasikh dan Mansukh);
2. memahami hadis, ilmu hadis dirayah-nya, hadis-hadis yang nasikh dan mansukh, dan sebab-sebab wurud (sebab munculnya hadis-hadis);
3. mempunyai pengetahuan yang mendalam ten-tang bahasa Arab;
4. mengetahui tempat-tempat ijmak;
5. mengetahui usul fikih;
6. mengetahui maksud-maksud syariat;
7. memahami masyarakat dan adat istiadatnya; dan
8. bersifat adil dan tak-wa. Di samping delapan syarat ini, beberapa ulama menambahkan tiga syarat lagi, yaitu: (1) mendalami ilmu usuluddin, 2) memahami ilmu mantik (logika), dan 3) menguasai cabang-cabang fikih.
Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama mengelompokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan. Muhammad Abu Zahrah (ahli usul, fikih, dan kalam) dalam bukunya Usul al-Fiqh menyebut enam tingkatan, yaitu :
1. mujtahid mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur'an dan sunah, melakukan kias, berfatwa, dan ber-istihsan. Mereka menempuh segala cara ber-istidlal (pengambilan dalil) yang ditentukan sendiri dan tidak mengikuti pendapat siapa pun. Mujtahid mustaqill adalah tingkatan mujtahid yang paling tinggi;
2. mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang imam pada hal-hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal-hal furuk (cabang) walaupun pada akhirnya ia akan sampai pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut;
3. mujtahid fi al-mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat imam mazhab, baik dalam hal-hal usul (pokok) maupun furuk. Usahanya hanya terbatas dalam meng-istinbat-kan atau menyimpulkan hukum-hukum bagi persoalan-persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam mazhab;
4. mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang meng-istinbat-kan hukum-hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama sebelumnya. Sebenarnya, mujtahid pada tingkat ini tidak meng-istinbat-kan hukum-hukum, tetapi mereka hanya melakukan tarjih (mencari pendapat imam mazhab yang lebih kuat);
5. mujtahid muhafiz, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum yang telah di-tarjih-kan oleh para ulama sebelumnya; dan
6. mujtahid muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih.
Yusuf al-Qardawi menyebutkan empat tingkatan mujtahid, yaitu:
1. mujtahid mustaqill,
2. muj­tahid muntasib,
3. mujtahid fi al-mazhab, dan
4. mujtahid fatwa (mujtahid murajjih).

JENIS HUKUM IJTIHAD

Begitu pentingnya ijti­had itu dilakukan, sehingga ahli usul fikih menetapkan bahwa hukum ijtihad itu ada tiga macam, yaitu fardu ain (wajib bagi setiap orang), fardu kifayah (cukup dilakukan oleh sebagian orang), dan mandub (sunah). Penetapan seperti ini terdapat di dalam kitab Ihya' 'Ulum ad-Din.
Hukum ijtihad menjadi fardu ain apabila timbul suatu persoalan yang sangat mendesak untuk ditentukan atau dicarikan kepastian hukumnya, baik untuk diri sendiri maupun untuk umat. Hukum ijtihad menjadi fardu kifayah apabila ada persoalan yang muncul yang diajukan kepada beberapa ulama untuk dijawab dan kewajiban mereka menjadi gugur jika salah seorang di antara mereka memberi jawaban atas persoalan tersebut. Ijtihad menjadi mandub apabila masalah-masalah yang akan dicarikan kepastian hukumnya adalah masalah-masalah yang belum mendesak, misalnya persoalan yang ditanyakan itu belum terjadi di masyarakat.

PERKEMBANGAN IJTIHAD

Ijtihad dalam sejarah dan perkembangannya, telah ada sejak zaman Ra­sulullah SAW .Rasulullah SAW sendiri adalah mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu (Al-Qur'an). Apabila hasil ijtihad Rasulullah SAW itu benar, maka turun wahyu membenarkannya, dan jika ijtihad Rasulullah SAW salah, turun wahyu untuk meluruskan kesalahan itu. Contoh ijtihad Rasulullah SAW yang mendapat pembenaran wahyu adalah ijtihadnya tentang pembebasan tawanan Perang Badr. Ketika itu umat Islam memenangkan pertempuran dan banyak tentara musuh yang tertawan. Rasulullah SAW berta­nya kepada sahabat-sahabatnya mengenai tawanan perang tersebut. Umar bin Khattab menjawab: "Tawanan perang itu hendaknya dibunuh," sedangkan Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, agar tawanan itu dibebaskan dengan syarat membayar fidyah (denda). Rasulullah SAW lalu mengambil keputusan bahwa tawanan perang itu dibebaskan dengan membayar fidyah. Keputusan ini merupakan ijtihad Rasulullah SAW meskipun dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabat-sahabatnya. Lalu turunlah surah al-Anfal ayat 61-69 yang membenarkan ijtihad Rasulullah SAW. Adapun contoh ijtihad Rasululah SAW yang salah ialah keputusannya tentang pemberian izin orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turun surah at-Taubah ayat 43—45 yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah SAW.
Pada masa sahabat, ijtihad mulai banyak dipakai karena dengan wafatnya Rasulullah SAW, wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara itu, masalah-masalah yang dihadapi umat Islam bertambah terus dan memerlukan ketentuan hukum. Pada masa Abu Bakar, jika menghadapi sesuatu persoalan dan tidak menemukan nasnya di dalam Al-Qur'an dan hadis, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah-masalah itu. Demikian pula pada masa Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak didapati nasnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Akan tetapi, di antara keempat sahabat besar itu, hanya Umar yang diketahui paling banyak memakai ij­tihad. Walaupun demikian, keempat sahabat itu sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu pendapat yang merupakan hasil ijtihad. Abu Bakar, apabila berijtihad dengan pendapatnya, selalu berkata: "Ini adalah pendapatku. Jika benar, itu dari Allah dan jika salah, itu dari saya. Saya mohon ampun atas kesalahan itu." Umar pernah mengatakan: "Ini pendapat Umar. Jika pendapat itu benar, itu adalah dari Allah dan jika salah, itu pendapat Umar." Selain dari keempat sahabat itu, ada pula beberapa sahabat yang terkenal dengan ijtihadnya, seperti Ibnu Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Mu'az bin Jabal, Ubay bin Ka'b, dan Zaid bin Sabit.
Sesudah masa sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya mujtahid-mujtahid besar, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibnu Syihad az-Zuhri, AbdulIah bin Ab­bas, Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Amr, dan Wahhab bin Munabbih.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Setelah abad keempat Hijriah, perkembangan ijtihad mengalami kemunduran, bahkan muncul pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini disebabkan antara lain karena umat Islam merasa cukup dengan pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya. Umat Islam memandang bahwa semua masalah telah ditetapkan hukumnya oleh fukaha (ahli hukum Islam), sehingga mereka hanya boleh menjelaskan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang telah disepakati oleh fukaha terdahulu. Di samping itu, tidak ada lagi muncul mujtahid-mujtahid yang memiliki kemampuan dan keunggulan seperti yang dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya sehingga tidak ada lagi yang disebut mujtahid mutlak (muj­tahid mustaqilt). Yang ada hanya mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang mengikuti pendapat para imam mazhab sebelumnya) atau mujtahid murajjih (mujtahid yang menerangkan dan memperkuat pendapat imam-imam mazhab sebelumnya).
Kemudian dalam perkembangan berikutnya, muncul ulama-ulama seperti Ibnu Taimiyah yang menyerukan agar umat Islam membuka kembali pintu ijtihad. Pendapat Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan dari ulama dan tokoh-tokoh pemikir serta tokoh-tokoh pembaharu sesudahnya, se­perti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad bin Ab­dul Wahhab, Muhammad Abduh, dan Muham­mad Rasyid Rida.Pada masa kini, para ulama semakin dituntut untuk berusaha melakukan ijtihad. Hal ini dise­babkan karena semakin banyaknya persoalan yang dihadapi umat akibat pengaruh perubahan yang begitu pesat

DASAR HUKUM IJTIHAD

Dasar hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunah, dan ijmak. Dalil Alquran adalah surah an-Nisa' ayat 83, surah asy-Syu'ara' ayat 38, surah al-Hasyr ayat 2, dan surah al-Baqarah ayat 59
Dasar ijtihad dalam sunah ialah sabda Nabi SAW yang artinya: "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka membenarkan perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain ialah hadis yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu'az, dengan apa ia akan memutuskan hukum. Lalu Mu'az menjawab bahwa jika ia tidak menemukan hukumnya di da­lam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW, ia akan memutuskan hukum dengan jalan ijtihad.
Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah.
Ijtihad dilakukan oleh para ulama untuk menja­wab persoalan dalam masyarakat yang bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Ijtihad banyak dilakukan dalam bidang fikih sesudah za­man sahabat dan tabiin (orang-orang yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertermu dengan Nabi SAW). Karena banyaknya ijtihad yang pakai pada masa ini, timbul banyak perbedaan pendapat antara ulama-ulama fikih, yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fikih.

IJTIHAD

Arti Jahada = berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur'an dengan syarat-syarat tertentu. Adapun menurut para ahli usul fikih, antara lain Imam asy-Syaukani dan Imam az-Zarkasy, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak (hukum Islam) yang bersifat operasional de­ngan istinbat (mengambil kesimpulan hukum). Menurut Imam al-Amidi dalam bukunya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Penyempurnaan dalam Dasar-Dasar Hukum), ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syarak yang bersifat zanni (dugaan) sampai merasa dirinya tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.

METODE USUL FIKIH

Dalam perjalanan dan perkembangan usul fikih sesudah masa Imam Syafi'i, dikenal adanya dua metode usul fikih yang berbeda.
Pertama, metode yang sifatnya teoritis. Metode ini tidak terpengaruh oleh furuk (hukum keagamaan yang tidak pokok) dan kalangan yang berpatokan pada masalah-masalah partial).Artinya, metode yang mereka susun sifatnya lebih mengacu pada penerapan hukumnya. Metode ini dikenal de­ngan metode Mazhab Syafi'i, karena ia dikenal se­bagai orang pertama yang melakukan pembahasan yang bersifat teori belaka. Metode Imam Syafi'i ini juga dikenal dengan metode mutakalimin, karena banyak di antara ulama ilmu kalam melakukan pembahasan usul dengan metode teoritis ini.
Pembahasan dalam metode Imam Syafi'i dan mutakalimin lebih ditekankan pada penyusunan kaidah-kaidah tanpa terikat dengan pandangan mazhab, bahkan mereka menyusun metode ini dengan mapan tanpa memperhitungkan apakah dapat melayani kebutuhan mazhab mereka atau tidak. Oleh sebab itu, ada ahli usul Mazhab Syafi'i sendiri yang teorinya bertentangan dengan teori yang telah ditetapkan Imam Syafi'i. Misalnya, Imam al-Amidi, ahli fikih dan usul fikih penganut Mazhab Syafi'i, mengatakan bahwa ijma'sukuti (kesepakatan sebagian mujtahid pada suatu masa dalam mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap hukum suatu kejadian, sedangkan sebagian lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut) itu dapat menjadi hujah. Sementara Imam Syafi'i sendiri tidak menerima ijma'sukuti sebagai hujah.
Pada pembicaraan tentang usul dalam kelompok ini banyak didapati pembahasan-pembahasan yang sifatnya teoritis saja dan tidak membawa pengaruh pada keperluan praktis. Di antaranya adalah pembahasan tentang asal-usul bahasa, tahsin (menganggap sesuatu perbuatan itu baik dapat dicapai oleh akal atau tidak), dan taqbih (mengang­gap sesuatu perbuatan itu buruk dapat dicapai dengan akal atau tidak). Kitab-kitab usul fikih yang disusun menurut metode Imam Syafi'i dan mutakalimin antara lain: al-Mu'tamad oleh Abi Husain Muhammad bin Ali al-Basri, yang sebelumnya Muktazilah, al-Burhan oleh Imam al-Juwaini yang dikenal dengan Imam Haramain, dan al-Mustasfa oleh Imam Abu Hamid al-Gazali.
Kedua, metode Mazhab Hanafi, yakni metode yang sangat terikat dengan peristiwa-peristiwa partial. Mereka melakukan pembahasan terhadap kaidah-kaidah usul untuk dijadikan pertimbangan atau alat pengukur pendapat-pendapat yang ada dalam mazhab mereka. Dengan demikian mereka berusaha untuk membenarkan pendapat mazhabnya melalui metode yang mereka susun. Syah Waliullah (Delhi, 4 Syawal 1114/1703 M-Delhi, 1176 H/1762 M), salah seorang pembaru pemikiran Islam di India pada permulaan abad ke-18, me­ngatakan bahwa metode yang mereka susun itu bertujuan sebagai pembenaran terhadap putusan-putusan imam-imam mazhab mereka. Di sinilah letak perbedaan antara metode Mazhab Syafi'i dan metode Mazhab Hanafi. Metode Mazhab Syafi'i dibentuk sebagai teori untuk istinbat, tanpa terikat dengan masalah-masalah furuk. Adapun metode Mazhab Hanafi dibentuk dalam rangka pembe­naran terhadap pendapat mazhab mereka. Kitab-kitab usul yang ditulis dengan metode Mazhab Hanafi antara lain: Kitab Usul (oleh Ubaidillah bin Husain), Kitab Usul (al-Jassas), Kitab Usul (Imam al-Bazdawi), dan Kitab Usul (asy-Syarakhsi).
Dengan demikian, usul fikih yang dikenal sekarang adalah usul fikih dalam dua metode ini. Ada juga beberapa penulis, baik dari kalangan Mazhab Syafi'i maupun Mazhab Hanafi, yang menulis kitabnya dengan menggabungkan kedua metode ini. Dalam teori, mereka berpegang pada metode Maz­hab Syafi'i, namun dalam praktek atau tatbiqaya, mereka mengikuti metode Mazhab Hanafi. Penulis yang menggabungkan dua metode tersebut antara lain Imam al-Amidi dengan bukunya al-Ihkam li al-Amidi dari kalangan Mazhab Syafi'i dan Imam Ali Muhammad al-Bazdawi dengan bukunya Usul al-Bazdawi dari kalangan Mazhab Hanafi. Kemudian datang lagi Imam Ahmad bin Ali Sa'ati al-Bagdadi yang menggabungkan Usul al-Bazdawi dengan al-Ihkam li al-Amidi.